Jumat, 30 November 2007

enting-enting gepuk cap klenteng dan 2 hoolo




Nah ini adalah kemasan yang menjadi kajian utama dalam blog kami yaitu enting-enting gepuk cap klenteng dan 2 hoolo...

Data kemasan

Jenis Rancangan : Kemasan
Jenis Produk : Pangan
Nama Produk : Enting-Enting Gepuk Cap Kenteng dan 2 Hoolo
Alamat Produk : Jalan Kalimanyat 23A
Kota / Kabupaten : Salatiga
Nomor Daftar Legal : 80529
Tahun Daftar Merk: P.IRT no.215337301001
Lebar : 120 mmPanjang /Tinggi : 120 mm
Teknik Produksi Cetak Offset ( karena ada crop mark)
Material : KertasJenis : Kertas Roti
Font : Arial
Visual : klenteng, 2 hoolo dan tulisan "khoe" pada hoolo

Konteks Keterangan
nah, kalau ini salah satu cemilan saya dari kecil, enting-enting gepuk, makanan yang terbuatdari kacang tanah, gula, frambozen...kalo sekarang, garuda bikin enting-entingdibungkus seperti permen. Bentuknya prisma segitiga sama kaki.
kalo "bacang" ada sejarahnya kenapa dibungkus seperti itu, kira-kira ada ngga ya sejarahenting-enting gepuk? jika ada yang tahu, silakan berikan komentar...oranamen dalam bungkusan terlihat jelas pengaruh Tionghoa, terlihat dari gambar
klenteng, naga, atap, dan hoolo.

Pengaruh dari...
Pada kemasan terpengaruh gaya Art Deco terlihat dari penggunaan bentuk yang geometris dan kaku. Desainnya benar-benar geometris.
Jika kemasannya ditekuk desainnya sama, seperti cermin. Perhatikan bagian kiri, pintu dibuka dari kanan. bagian kanan pintu dibuka dari sebelah kiri.
Perhatikan juga panjang pita, penggunaan warna merah yang tebal dan ikon klenteng & 2 hoolo dibuat sederhana. Tipografi arial yang mudah terbaca, lay out yang seimbang kemasan dibuat dengan cara di stempel.



Ilmu gepuk dari Yusuf sang pembuat gepuk

-enting-enting gepuk cap klenteng dan 2 hoolo ini adalah produk khas tradisional masyarakat tiong hwa.

-Enting-enting gepuk tetap bertahan di tengah industri penganan modern yang digerakkan modal raksasa dan teknologi era komputer. Penggepukan masih dilakukan dengan kayu sawo berbentuk silinder seberat 3-4 kilogram. Kacang yang telah dipanaskan dalam cairan gula kental digepuk di atas landasan batu berbentuk empat persegi panjang setebal 15 sentimeter. ”Pernah kami coba menggunakan blender, tapi kacangnya mengeluarkan minyak,” tuturnya.

-Justru dengan cara gepuk itulah enting-enting mendapatkan daya hidup dan bertahan hingga lebih dari tujuh dekade. Daya hidup itu, menurut Yusuf, tak semata karena urusan modal, tetapi terlebih karena kecintaan kepada pekerjaan dan penguasaan ilmu gepuk. ”Kalau hanya modal, setiap orang juga bisa. Proses pembuatan, setiap orang juga bisa mempelajari. Tapi keuletan, ketelatenan, dan kecintaan itu yang tak semua orang bisa dapat,” kilahnya.

-Urusan gepuk-menggepuk memang menjadi unsur penting dalam proses pembuatan enting-enting gepuk. Ini bukan sembarang gepuk. Jika penggepukan kurang keras, kacang tidak hancur. Akan tetapi, jika terlalu keras, kacang akan mengeluarkan minyak. Kacang berminyak akan menimbulkan bau tengik. ”Kacang harus halus. Tidak boleh mringkil (kasar-keras). Nanti yang makan bisa marah, ha-ha....”

-Yusuf menguasai benar ilmu gepuk. Sewaktu duduk di kelas lima sekolah dasar, ia sudah mencoba-coba untuk ikut menggepuk kacang. ”Tangan saya sampai hancur,” ujarnya mengenang.

-Ia menguasai seluruh proses pembuatan, mulai dari menyangrai kacang, memasak gula, menggepuk, mengulur gepukan kacang, sampai membungkus. Rampung kuliah dari Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Kristen Satya Wacana, Yusuf memilih untuk melanjutkan usaha enting-enting ketimbang mengajar. Ia merasa mempunyai tanggung jawab moral.

-”Dengan usaha itu, banyak orang bisa ikut kerja. Itu lebih bermanfaat,” kata Yusuf yang mempunyai 25 karyawan.

-Usaha enting-enting itu kemudian menjadi laku hidup Yusuf dan karyawannya. Setiap bagian dari proses pembikinan menjadi tahapan yang mematangkan pribadi. Untuk menjadi penggepuk, minimal diperlukan waktu enam bulan belajar. Penggepuk yang berpengalaman lebih dari sepuluh tahun bisa menjadi pengulur.

-”Tak ada yang instan dalam proses ini. Dengan tahapan itu mereka akan mencintai, menjiwai pekerjaan. Mereka bekerja sepenuh hati, tidak waton (asal),” katanya.-Penghayatan akan kerja itu, katanya, menimbulkan passion, gereget, rasa cinta dalam bekerja, sehingga mereka tidak bosan. Di antara penggepuk itu ada yang telah bekerja sampai 30 tahun. Ada pula yang bisa membiayai kuliah anaknya sampai tingkat S-2 di Universitas Gadjah Mada.

-Yusuf kini tentu tidak lagi ikut menggepuk. Dibantu Juwariah, sang istri, bapak empat anak itu terus mengawasi kualitas enting-enting gepuk yang bisa diperoleh di banyak toko oleh-oleh itu.

Kenapa memakai cap klenteng dan 2 hoolo?

-Enting-enting gepuk seperti lekat dengan Kota Salatiga, Jawa Tengah. Penganan yang terbikin dari bahan dasar gula dan kacang yang digepuk atau digebuk dengan kayu di atas landasan batu itu banyak diproduksi di kota yang terletak di kaki Gunung Merbabu itu.

-Yusuf Kurniajaya alias Khoe Yoe Tjay (48) adalah salah seorang pembuatnya. Ia mewarisi ”ilmu gepuk” dari sang kakek, Khoe Tjong Hok, imigran asal Fukkian, China, yang merintis usaha enting-enting di Salatiga sejak sekitar tahun 1920-an.

-”Waktu itu masih dibungkus kelobot, kulit buah jagung. Nenek saya menjualnya dengan tampah keliling kampung,” tutur Yusuf yang ditemui di rumahnya di Klaseman Hijau, Salatiga.-Lima dari enam anak Khoe Tjong Hok meneruskan usaha enting-enting itu. Salah satunya adalah Gunarso alias Khoe Poo Liong, ayah Yusuf. Belakangan, Yusuf memegang estafet sejarah keluarga. ”Jadi, saya ini generasi ketiga enting-enting gepuk,” tutur Yusuf.

-Jika produk keluarga Khoe Tjong Hok menggunakan cap Klenteng dan 2 Hoolo, itu memang sesuai dengan riwayat sang pembuat. Kakek Yusuf adalah juru kunci Klenteng Hok Tik Bio—Biara Dewa Bumi—di Jalan Sukowati, Salatiga.

-”Setelah diangkat menjadi juru kunci, kakek membuat enting-enting di kompleks klenteng. Orang tahunya itu enting-enting dari klenteng. Itu lalu menjadi merek dan sudah saya patenkan,” kata Yusuf, yang kini menjadi Ketua Umum Klenteng Dua Hoolo Bird Club, sebuah kelompok pencinta burung di Salatiga.




Menelusuri asal mula nama "klenteng"
-Klenteng atau Kelenteng adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya. Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya disamakan sebagai tempat ibadah agama Konghucu.
-Tidak ada catatan resmi bagaimana istilah "Klenteng" ini muncul, tetapi yang pasti istilah ini hanya terdapat di Indonesia karenanya dapat dipastikan kata ini muncul hanya dari Indonesia. Sampai saat ini, yang lebih dipercaya sebagai asal mula kata Klenteng adalah bunyi teng-teng-teng dari lonceng di dalam klenteng sebagai bagian ritual ibadah.
-Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter 廟 (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Tiongkok.
-Pada mulanya 廟 "Miao" adalah tempat penghormatan pada leluhur 祠 "Ci" (rumah abuh). Pada awalnya masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga/family/klan mereka. Dari perjalanan waktu maka timbullah penghormatan pada para Dewa/Dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus untuk para Dewa/Dewi yang sekarang ini kita kenal sebagai Miao yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Saat ini masih di dalam "Miao" masih juga bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) di khususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga/marga/klan masing-masing. Ada pula di dalam "Miao" disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran/agama leluhur seperti ajaran-ajaran Konghucu, Lao Tze dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha.
-Miao - atau Kelenteng (dalam bahasa Jawa) dapat membuktikan selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para Suci (Dewa/Dewi), dan tempat mempelajari berbagai ajaran - juga adalah tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apa orang itu berasal.-Saat ini Miao (Kelenteng) bukan lagi milik dari marga, suku, agama, organisasi tertentu tapi adalah tempat umum yang dipakai bersama.