Selasa, 27 November 2007

Budaya Tionghua - Sejarah Panjang dalam Sekerat Penganan

Sejarah Panjang dalam Sekerat Penganan

Maria Hartiningsih dan Frans Sartono

Penganan oleh-oleh tak hanya sekadar olahan adonan. Di dalamnya ada kisah heroik untuk bertahan dan tegak menghadapi tantangan zaman. Di dalam rasa yang diciptakan terkandung ketekunan, kesabaran, dan kecintaan para pembuatnya yang mampu menghadirkan masa lalu dalam kekinian.

Posisi penganan yang sekunder di dalam masyarakat lokal justru mendongkraknya ke posisi strategis dalam industri perjalanan (traveling). ”Orang yang tinggal di Salatiga paling cuma beli enting-enting gepuk untuk suguhan tamu, atau oleh-oleh kalau mau pergi ke luar kota,” ujar Yusuf Kurniajaya alias Khoe Yoe Tjay (48), pengusaha enting-enting gepuk dari Salatiga.

Yusuf, yang merupakan generasi ketiga produsen enting- enting gepuk itu, memahami benar fungsi enting-enting gepuk pada zaman di mana industri makanan digerakkan modal raksasa. Ia tahu, dalam peta makanan, enting-enting, sebagaimana jenis penganan ”kampung” lainnya, termasuk jenis makanan sekunder.

”Orang tidak sehari-hari membeli. Ini lebih menjadi kebutuhan pelancong. Tapi justru itu yang menolong kami,” sambungnya.

Dalam posisinya sebagai penganan oleh-oleh, Yusuf tidak khawatir dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan krisis ekonomi, yang memang berimbas pada biaya produksi dan harga produk enting-enting.

”Tradisi mudik, orang melancong, itu bukan urusan harga. Orang melancong ndak ngurus harga kacang. Orang jauh-jauh dari Medan atau dari mana ke Salatiga tidak akan memikirkan berapa harga oleh-oleh. Mosok lewat sekali ndak beli.”

Di Yogyakarta, hal senada dikemukakan Yenny Susanto (63), menantu dari pembuat bakpia generasi pertama di Yogyakarta, Liem Yung Yen, produsen Bakpia Pathok 75. ”Kalau musim liburan yang beli sampai pakai nomer,” ujar Ny Trijaya (41), ibu rumah tangga, asal Yogyakarta.

Penuh tantangan

Posisi enting-enting gepuk dan bakpia itu mengalami berbagai tantangan di setiap tahapannya. Kedua jenis penganan itu diinspirasi penganan serupa dari China. Mereka mengalami adaptasi rasa dan evolusi bentuk, disesuaikan dengan budaya dan lidah setempat.

”Dulu isi bakpia macam-macam, biasanya disajikan pada hari besar China yang mirip Ruwahan di sini,” jelas Yenny dalam bahasa Jawa yang kental, di toko pusat oleh-oleh milik keluarganya di Jalan KS Tubun 75, Yogyakarta.

Ayah mertuanya, Liem Yung Yen, dulu menjual bakpia ke kampung-kampung di Yogyakarta pada tahun 1940-an. Kemudian Yung Yen merintis bakpia isi kacang hijau seperti yang dikenal sekarang ini. Jenis makanan itu kemudian diproduksi beramai-ramai oleh mereka yang punya modal, dengan bantuan para mantan karyawannya. Ini membuat bakpia semakin dikenal dan dalam perjalanannya kemudian menggeser posisi jenis oleh-oleh lain, yang dulu sebelumnya dikenal sebagai ’khas Yogya’.

Ketika ayah mertuanya masih aktif, ia tidak mau menambah produksinya. ”Kalau habis ya habis saja, ya segitu saja rezekinya hari itu,” kenang Yenny. Liem Yung Yen juga menciptakan bakpao dengan merek ”Yung Yen”. ”Sekarang merek itu dipakai oleh banyak orang,” lanjut Yenny.

Lain lagi dengan riwayat enting-enting gepuk cap Kelenteng dan 2 Hoolo. Kakek Yusuf, Khoe Tjong Hok, asal Fukkian, China, memulai usaha enting-enting gepuk tahun 1920-an di Salatiga. Sang kakek yang datang dari Provinsi Fukkian, China, tahun 1900-an, itu konon adalah perintis pembuatan enting-enting gepuk Salatiga.

Sampai tahun 1960-an, enting-enting buatan Tjong Hok belum bermerek dan masih dibungkus dengan kelobot atau kulit jagung yang dikeringkan. ”Nenek saya menjual pakai tampah ke pasar dan ke kampung-kampung,” ujar Yusuf.

Awal tahun 1960-an, enting-enting Tjong Hok mulai dibungkus kertas khusus dan diberi cap Kelenteng. Maklum, Tjong Hok adalah juru kunci kelenteng Hok Tik Bio (Biara Dewa Bumi) di Salatiga.

Hampir bersamaan waktunya, di daerah Salaman, Magelang, Ny Ong King Liem mulai membuat wajik untuk dijual pada tahun 1939. Usaha yang lumayan berkembang dengan merek paten Wajik Ny. Week tahun 1980 itu berubah menjadi Wajik Week, dengan Untung Gianto (49) sebagai urutan kelima ”dinasti” penerusnya.

Di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, almarhum mBok Tumpuk merintis rempeyek tumpuk. ”Dulu orang-orangtua kami buruh geplak,” kenang Tumpuk Ciptodihardjo (72) di bangku belakang toko oleh-olehnya di Bantul. ”Semua orang desa membuat geplak,” katanya.
Waktu zaman Jepang penganan itu namanya gola kompos, terbuat dari kelapa diparut, dicampur gula, dimasak, ditaruh di tampah, diiris-iris, dan dikeringkan sebelum dijual. Kata Pak Tumpuk, istrinya kreatif membuat bentuk- bentuk geplak dan rasanya enak sehingga banyak dicari pelanggan.

”Istri saya mulai berdiri sendiri tahun 1963,” kenang Pak Tumpuk tentang sang istri yang meninggal tahun 1994. Mbok Tumpuk menciptakan rempeyek tumpuk tahun 1980-an. ”Sekarang banyak yang mbuat, tetapi Ibu yang pertama,” sambung Kelik, menantu Pak Tumpuk yang ikut mengelola usaha.

Perubahan ”derajat”

Perubahan zaman menaikkan posisi jenis penganan tertentu yang dulu diidentikkan dengan ”orang bawah”, dan ”menurunkan” posisi jenis makanan lain yang dulu hanya menjadi santapan para priayi.

Makanan rakyat seperti karak dan intip yang dijual di kampung-kampung itu sekarang juga menghuni toko-toko oleh-oleh bergengsi. Ismu Mitro Rahardjo (60) adalah pembuat karak yang menyaksikan perubahan ”status” itu. Ia adalah generasi ketiga pembuat karak di Kampung Bratan, Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Solo, Jawa Tengah.

Ia melanjutkan usaha yang dirintis sang kakek, Mbah Wiryo Wikromo, bersama dua saudaranya yang lain, Cokro dan Minto, sejak zaman kolonial. Orang Solo mengenal karak mereka sebagai karak (M)bratan.

Dulu, karak itu dijual langsung ke kampung-kampung. Nenek Ismu mendistribusikannya dengan berjalan kaki mengendong srumbung, tenggok yang dilengkapi gulungan anyaman bambu untuk memperbesar daya tampung.

Ismu meneruskan usaha karak itu sejak tahun 1980. Ia masih menggunakan jalur distribusi tradisional, dengan memasok ke para penjual. Awal tahun 1990-an mulai ada agen yang meminta pasokan untuk dikemas dalam plastik dan dipasok ke toko-toko. Para agen itu membeli karak dalam ukuran kiloan.

Awal tahun 1990-an, karak mulai dijual ke toko-toko yang dulu tak pernah memasukkan karak sebagai item dagangannya. Para pengusaha itu rupanya melihat orang- orang berduit datang mencari karak sebagai oleh-oleh.

Para agen inilah yang lalu menjadi perantara antara produsen dan konsumen. ”Banyak konsumen minta karak agak gosong,” ujar Ismu, yang mempekerjakan 10 tenaga kerja termasuk menantunya. ”Agak susah karena waktu menggoreng lebih lama dengan tenaga ekstra.”

Dalam posisinya sebagai oleh-oleh, produksi intip telah menghidupkan industri rumah tangga. Salah satunya adalah intip ”Mbak Sri”, merek intip yang diambil dari nama Sri Mulyati, istri Frans Rahawari (27), warga kampung Dawung Wetan, Solo, yang memproduksi intip itu.
Produksi intip Mbak Sri menghidupi lima keluarga yang memasok bahan dasar berupa intip mentah. Setiap hari setiap keluarga memasok 30 intip, dicetak di kendil. Sehari Mbak Sri menggoreng 100-250 intip, tergantung permintaan.

Sementara kue yang dulu hanya menjadi santapan para priagung, seperti Roti Mandarijn, seiring perubahan zaman dan perubahan status sosial serta tingkat hidup sebagian anggota masyarakat, harganya bisa dicapai oleh semakin banyak orang dari berbagai lapisan masyarakat.

Pasar oleh-oleh

Produksi oleh-oleh itu sampai ke tangan pelanggan sebagian besar melalui pusat oleh-oleh. Salah satunya adalah satu kios oleh-oleh milik Arini Purnawan di Pasar Jongke, pasar khusus oleh-oleh di Solo. Arini semula adalah pembuat abon. Ia jeli melihat pembeli yang ternyata juga memburu penganan ” kampung”.

Ketika memulai usaha tahun 2000, tokonya menjadi seperti supermarket oleh-oleh. Ia mulai mengamati perilaku konsumen. Dari situ Arini menangkap pentingnya kemasan supaya pembeli merasa nyaman dan bangga menenteng penganan oleh-oleh. Materi makanan juga digarap sesuai perilaku kaum urban yang tak mau susah- susah ngemil.

”Dulu belut goreng kan tebal-tebal, keras banget, susah dimakan,” katanya.

Ia lalu meminta kepada pemasok agar menyediakan belut muda berukuran lebih kecil dan menggorengnya dengan tepung agar lebih renyah.

Arini paham bahwa dalam bisnis itu rasa adalah segalanya. Pembeli tak peduli pada harga. ”Prinsipnya kalau saya sendiri enggak doyan ya enggak saya jual. Saya sendiri- lah yang menjadi tester,” lanjut Arini.

Makanan jenis lain pun diadaptasi sesuai gaya hidup konsumen. ”Dulu banyak pembeli mengeluh keripik ceker keras. Saya olah supaya kemripik, renyah,” sambungnya.

Bisnis oleh-oleh, setidaknya dalam lima tahun terakhir ini, tak bisa lagi dilihat sebelah mata. Pusat oleh-oleh tumbuh di berbagai kota. Oleh-oleh digarap sebagai usaha profesional.

Kemasan yang apik seperti membungkus dapur tradisional yang penuh jelaga dan kerja keras para pembuatnya. Para pedagang oleh-oleh itu dengan jeli mengemas dan menjual oleh-oleh. Sejarah panjang penganan itu ikut terkemas di dalamnya.

sumber : http://www.mail-archive.com/budaya_tionghua@yahoogroups.com/msg04451.html

Misi pencarian data




Perjalanan ke kelenteng Dewi Samudera :

pada tanggal 1 november 2007 kita sekelompok pergi mengunjungi klenteng Dewi Samudera di jalan Bandengan Selatan no 38. Pertama kali kita menemui salah seorang pengurus klenteng dan kita tidak diperbolehkan untuk photo2, tapi pada akhirnya dengan mulut manis kami berhasil membujuk penanggung jawab untuk diwawancara. Setelah mengadakan wawancara kami diperbolehkan untuk mengambil beberapa photo dan itu juga harus di daerah halaman klenteng, bukan di dalamnya karena ada pantangan untuk mengambil photo didalam tempat sembahyang. alasan kelompok kami mengunjungi klenteng adalah mencari referensi sehubungan dengan elemen utama pada kemasan yang kami bahas yaitu enting-enting gepuk cap klenteng dan 2 hoolo.

Dari wawancara kami mendapat berbagai data sebagai berikut mengenai klenteng ini :

- Klenteng Dewi Samudera ini sudah berumur kurang lebih 300 tahun .

- Klenteng ini menjadi 5 besar klenteng yang berumur paling tua di seluruh Jakarta.

- Dewi Samudera menjadi Dewi utama yang disembah. Dewi Samudera adalah dewi yang berdiam dan menguasai lautan.

- Klenteng ini digunakan sebagai tempat sembahyang, dan segala bentuk kegiatan di luar kepentingan sembahyang tidak diperkenankan.

- Pelestarian klenteng diperoleh dari sumbangan orang-orang yang datang berkunjung, tidak ada badan khusus yang mendanai.

- Klenteng ini pada awalnya adalah tempat yang didirikan bersama sebagai keperluan berkumpul.

- Selain Dewi Samudera sebagai Dewi utama, ada juga Dewa-Dewa pendamping lainnya seperti Dewi Kwan Im, Dewa Kuan Kong dan lain-lain.

Nah itu adalah semua data yang kami dapat dari hasil wawancara dengan penganggung jawab klenteng, kami juga menanyakan beberapa hal tentang ornamen dan corak yang ada di dalam klenteng itu tapi penanggung jawab sendiri juga kurang mengerti akan makna ornamen dan corak tersebut. Setelah selesai wawancara kami mengambil beberapa photo untuk dijadikan kenangan, serta kami menyumbang sedekah sebagai rasa terima kasih karena diperbolehkan untuk berkunjung.